Media Proteksinews

Media Proteksinews

sample media terbit

sample media terbit

Cari Blog Ini


Laman

RNI

RNI
kantor pusat

Minggu, 17 Januari 2010

RNI

Gula kristal rafinasi harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) wajib mulai 12 Februari 2009. Produsen gula rafinasi menyambut baik ketentuan SNI wajib itu, karena akan menciptakan persaingan yang sehat dan perlindungan kepada konsumen.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 83/M-Ind/ Per/ 11/2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Rafinasi Secara Wajib.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) M. Yamin Rahman mengatakan selama ini empat pabrik gula rafinasi telah memiliki standar nasional Indonesia (SNI) sukarela sehingga telah siap jika harus memenuhi SNI wajib mulai Februari 2009.

"Kita [AGRI] siap dan menyambut baik ketentuan SNI wajib untuk gula rafinasi," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Pabrik gula rafinasi a.l. PT Angels Products, PT Jawamanis Rafinasi, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama dan PT Dharmapala Usaha Sukses.

Yamin menambahkan pabrik gula rafinasi akan menyiapkan selama rentang waktu 3 bulan seperti mencantumkan label SNI pada kemasan.
Peraturan itu dimaksudkan untuk mendukung program peningkatan mutu gula rafinasi, memberikan kemudahan dalam pengadaan pasokan dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan memberikan perlindungan konsumen.
Gula rafinasi adalah gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang dibuat melalui pengolahan gula kristal mentah yang meliputi rafinasi, dan pelarutan kembali.
SNI untuk gula rafinasi itu bernomor 01-3140.2-2006. Peraturan itu ditetapkan pada 13 November 2008 dan berlaku 3 bulan berikutnya yakni pada 13 Februari 2009.
Gula rafinasi impor juga harus memenuhi ketentuan SNI wajib karena bersifat perlakuan yang sama (equal treatment) yaitu dengan menilai dokumen sertifikat analisis.

Dua mutu

Menurut Yamin, melalui SNI wajib itu, gula rafinasi dikelompokkan ke dalam dua mutu.
Mutu pertama, polarisasi sebesar 99,8 (kandungan sukrosa) dan mutu II, mengandung sukrosa sebesar 99,7. Mutu I, gula reduksi naik maksimal sebesar 0,04%, sedangkan mutu II sebesar 0,05%.
Yamin menambahkan mutu I, dengan icumsa unit (tingkat warna) maksimal sebesar 45 iu, sedangkan mutu II maksimal sebesar 80 iu.
Achmad Sufiardi, Direktur Industri Pangan, Ditjen Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian, mengatakan untuk gula rafinasi sudah semestinya diberlakukan SNI wajib.
Hal ini, katanya, mengingat komoditas tersebut merupakan barang dalam pengawasan terkait dengan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan dan meningkatkan mutu serta daya saing.

Dia menambahkan pemberlakuan SNI wajib untuk gula rafinasi memudahkan pengawasan dan akan lebih terarah untuk melindungi konsumen.

Menurut Sufiardi, jika pemerintah inginkan SNI wajib, persaingan yang sehat dalam setiap perdagangan akan tercipta.
Hingga awal 2008 hanya 218 produk yang sudah diberlakukan SNI wajibnya dan 32 di antaranya di bawah kewenangan Departemen Perindustrian dan Depdag.
Produk yang sudah mendapatkan SNI wajib, yaitu 15 jenis pupuk, 5 jenis ban, 6 semen, 2 kaca pengaman mobil, lampu hemat energi, tepung terigu, garam, dan air minum kemasan. (19)
Pemerintah meminta kepada industri gula rafinasi untuk menggunakan bahan baku gula mentah (raw sugar) dari dalam negeri sebanyak 50.000 ton selama 2010, atau naik dibandingkan dengan tahun ini yang hanya 35.000 ton.

Kebijakan tersebut tertuang dalam surat Kemenko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan No. S.56/D.II.M.Ekon/ 9/2009 perihal kebijakan gula Oktober 2009 yang dikeluarkan pada 11 September.
Kebijakan lain dalam surat tersebut meliputi penambahan importasi gula mentah sebanyak 180.000 ton oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan pabrik gula swasta untuk gula konsumsi.
Sementara itu, penambahan sebanyak 220.000 ton diberikan kepada industri gula rafinasi untuk menjamin pasokan gula bagi industri kecil.
Pemerintah juga melonggarkan persyaratan importasi gula rafinasi oleh 82 industri makanan dan minuman skala besar selama Oktober-Desember 2009 yang sisa alokasi impor diperkirakan masih mencapai 180.000 ton. Oleh karena itu, program konversi impor gula rafinasi ke dalam gula mentah tidak dilaksanakan.
Untuk menurunkan harga gula, pemerintah juga akan menurunkan tarif bea masuk gula mentah (gula kasar) sebesar 72,8% menjadi Rp150 per kg dibandingkan dengan tarif sebelumnya Rp550 per kg, sedangkan tarif bea masuk gula rafinasi turun 49,4% menjadi Rp400 per kg dibandingkan dengan sebelumnya Rp790 per kg.

Surat Deputi tersebut ditujukan kepada Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Meneg BUMN, Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Dirjen Bea dan Cukai.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) M.Yamin Rachman mengatakan industri rafinasi siap menggunakan gula mentah dari dalam negeri jika harga kompetitif dan tersedia oleh PTPN dan RNI.

“PTPN dan RNI juga impor gula mentah, bagaimana harus memenuhi 50.000 ton [gula mentah] yang berasal dari tebu petani. Tahun lalu [2008] sekitar 35.000 ton yang diprogramkan agar industri gula rafinasi menyerap gula mentah dari dalam negeri,” ujarnya belum lama ini.

Padahal, kemampuan menyerap bahan baku eks tebu dalam negeri akan menjadi salah satu pertimbangan dalam pemberian alokasi impor gula mentah bagi industri gula rafinasi.

SNI gula
Selain itu, pada 2010 akan mulai diberlakukan ketentuan standar nasional Indonesia (SNI) untuk gula konsumsi, gula industri, dan gula mentah.

Yamin meminta agar gula konsumsi yang tidak dapat memenuhi SNI tersebut diproduksi dalam bentuk gula mentah dan digunakan sebagai bahan baku gula rafinasi sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.

Untuk menjaga stabilitas harga, pemerintah akan melakukan pengawasan serta penataan struktur pasar dan tata niaga gula dalam negeri guna menghindari kemungkinan adanya kondisi persaingan yang tidak sehat.
Kebijakan lain dalam surat tersebut juga akan dibangun pabrik gula baru yang menggunakan bahan baku tebu dalam negeri dengan sasaran menghasilkan gula dengan produktivitas, efisiensi, kualitas, dan harga pokok yang bersaing.

Pembangunan pabrik gula tersebut mendapat dukungan dana yang bersifat jangka panjang (multiyears) dari APBN mulai 2010 dan melibatkan BUMN.
Beberapa kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan gula sehingga terdapat stok di masyarakat minimal 1 juta ton pada akhir tahun, karena jika tidak dilakukan penambahan impor, stok pada akhir tahun hanya sebanyak 600.000 ton.


Produksi Gula Mentah Rafinasi Masih Terbatas
Produksi gula mentah atau raw sugar yang diproses pabrik gula dalam negeri masih terbatas. Produsen gula rafinasi pun masih mempertanyakan kualitas gula mentah yang akan dihasilkan. "Sampai saat ini kualitas belum diketahui karena baru mau memulai proses dengan masuknya musim giling," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) M Yamin Rachman, Rabu (21/5).

Menurut Yamin, produsen gula rafinasi tak keberatan dengan permintaan pemerintah untuk mengolah di dalam negeri. Saat ini produsen telah bekerjasama dengan PT Perkebunan Negara (PTPN) untuk memproses gula mentah (raw sugar). Gula mentah ini merupakan bahan baku gula rafinasi yang selama ini diimpor.

Dia menjelaskan, apabila gula mentah produksi dalam negeri lebih murah dan memenuhi kualitas maka produsen lebih memilih produksi dalam negeri.

Produksi gula mentah dalam negeri, kata Yamin, masih terbatas sekitar 100-200 ribu ton. Sementara itu dalam neraca gula yang ditawarkan AGRI, diproyeksikan kebutuhan gula rafinasi 2008 sebanyak 2,1 juta ton atau diperlukan sekitar 2,3 juta ton gula mentah.

Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Achmad Manggabarani menjelaskan proyek percontohan produksi gula mentah sudah dimulai oleh PT Sugar Labinta sebanyak 265 ribu ton. "Tak ada masalah teknologi," ujarnya.
Dia menegaskan, gula rafinasi harus berbasis gula tebu. Produsen harus bekerjasama dengan tebu rakyat untuk mendapat pasokan tebu. "Ada masa toleransi dua tahun, tapi harus jelas rencananya," katanya.
Cirebon:Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesi (APTRI) meminta audit kebutuhan gula rafinasi di Indonesia. Audit dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kelebihan stok gula yang berakibat anjloknya harga. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Jawa Barat Anwar Asmali, pihaknya menghitung terjadi kelebihan stok gula rafinasi sampai 1,2 juta ton. Akibatnya, 20 ribu ton gula petani dan 80 ribu ton gula milik badan usaha milik negara belum terjual. "Dampaknya petani tebu rakyat bisa hancur," katanya, Kamis (21/8).
Saat ini harga gula rafinasi belum bisa dijual di atas patokan pemerintah sebesar Rp 5.000 per kilogram. Menurut Anwar, jika gula tersebut dilelang harganya dipastikan di bawah patokan. Padahal, petani tebu mendapat dana talangan sebesar Rp 5.170 per kilogram.

Dia mensinyalir saat ini terjadinya kelebihan stok akibat banyaknya izin impor untuk gula rafinasi maupun raw sugar. Akibatnya, pasar kebanjiran gula. Anwar meminta pemerintah menghentikan impor gula rafinasi, khususnya yang dilakukan industri. Selain kelebihan stok akan dibeli pemerintah juga dijadikan penyangga atau buffer stock.
Perusahaan milik negara, kata Arman, harus mengupayakan peningkatan kualitas penampilan gula rakyat agar bisa bersaing dengan gula rafinasi. "Tampilan gula rafinasi itu dengan kristal yang lebih putih dan butiran yang lebih halus, sehingga sangat menarik," katanya. Dengan penampilan yang sama diharapkan harga jual gula rafinasi dan gula tebu rakyat tidak berbeda. Harga gula lokal di pasar mencapai Rp 5.700-5.800 per kilogram. Sedangkan gula rafinasi dijual dalam kisaran Rp 6.200-6.400 per kilogram.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofjan Djalil meminta, badan usaha yang dikelolanya meningkatkan rendemen gula hingga mencapai 11 persen. Cara itu dilakukan agar mampu bersaing dengan gula rafinasi yang beredar di pasar. Saat ini rendeman gula lokal 8,9 persen.

Sofjan mengakui, harga jual gula lokal anjlok akibat peredaran gula rafinasi. Menurut dia, masalah gula rafinasi adalah persoalan bersama. "Bahkan Wakil Presiden akan membahas dalam rapat resmi," ujarnya di Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri, Jawa Timur.
Produsen Belum Ekspor Gula Rafinasi
Selasa, 25/11/2008
Produsen gula rafinasi masih berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri sehingga belum berencana untuk ekspor.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) M. Yamin Rahman mengatakan kebijakan pemerintah memberikan izin pendirian pabrik gula rafinasi bertujuan memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman yang sudah dapat dipasok dari produksi lokal.
"Adapun gula rafinasi yang spesifikasi teknis tertentu dan belum dapat dipenuhi produsen lokal, akan dipenuhi lewat impor," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
negara-negara yang membutuhkan gula rafinasi, tetapi jika terdapat permintaan gula rafinasi di luar negeri, maka siap untuk ekspor.
"Kami akan menjajaki dulu pemenuhan spesifikasi mutu, karena gula rafinasi telah memiliki standar nasional Indonesia yang juga sesuai dengan standar internasional."

Kemungkinan peluang Indonesia mengekspor gula rafinasi tersebut sebelumnya disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menko Perekonomian Bayu Krisnamurti.
Menurut dia, produksi gula tahun ini meningkat sekitar 1 juta ton menjadi 2,7 juta ton dan produksi gula rafinasi sebesar 1,5 juta ton sehigga total sebesar 4,2 juta ton.

Dengan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 3,5 juta ton, yaitu kebutuhan rumah tangga sebesar 2 juta ton dan industri sebesar 1,5 juta ton sehingga terjadi surplus sebesar 700 ton, sehingga bisa diekspor.
Menurut Yamin, swasembada gula hanya pada gula petani untuk konsumsi masyarakat sebesar 2,79 juta ton.

Total konsumsi gula, katanya, sebesar 4,8 juta ton dengan rincian konsumsi langsung sebesar 2,7 juta ton dan konsumsi industri sebesar 2,1 juta ton.

Sementara itu, kalangan pabrik gula (PG) berbahan baku tebu menyambut positif rencana ekspor terhadap sebagian gula rafinasi.
dig Suwandi, Wakil Sekjen Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) mengatakan selain menghindari benturan kepentingan dengan gula lokal, ekspor gula rafinasi merupakan solusi terbaik menuju pendewasaan industri.

"Ekspor idealnya diarahkan untuk gula rafinasi berbahan baku gula mentah (raw sugar)," ujarnya.
Produksi gula dari hasil penggilingan tebu oleh 58 PG di Indonesia pada 2008 ini diperkirakan 2,78 juta ton, sehingga memenuhi konsumsi langsung yang diasumsikan mencapai 2,7 juta ton. Adapun produksi 5 industri gula rafinasi diperkirakan 1,6 juta ton.

Produksi gula rafinasi dipastikan bertambah mengingat adanya sejumlah pabrik baru yang mulai beropSedikitnya lima pabrik gula rafinasi lokal siap menyerap gula mentah (raw sugar) produksi pabrik gula (PG) Rajawali II, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), sebanyak 1.500 ton.
Direktur PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Agus Purnomo mengatakan kerja sama ini untuk mengatasi kisruh pergulaan nasional akibat masuknya gula rafinasi ke pasar umum.
"Volumenya sekitar 1.500 ton, dan akan terus ditingkatkan," ujarnya saat penandatanganan kerja sama antara PT RNI dan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) di Jakarta, kemarin. Agus menjelaskan dengan memproduksi raw sugar di dalam negeri, maka diharapkan jumlah impor akan berkurang dan akan terjadi keseimbangan antara permintaan dan pasokan. Harga jual raw sugar lokal tersebut ditetapkan Rp470 per kg. Selama ini seluruh pasokan raw sugar masih berasal dari impor.
Tahap pertama
Produksi sebanyak 1.500 ton itu merupakan tahap pertama sedangkan tahap berikutnya akan dilakukan kerja sama lagi dalam jumlah yang lebih besar.
Kelima pabrik rafinasi itu adalah PT Angel Products yang memproduksi sebesar 335 ton, PT Jawamanis Rafinasi (340 ton), PT Sentra Usaha Tama Jaya (425 ton), PT Permata Dunia Sukses Utama (335 ton), dan PT Darmapala Usaha Sukses (65 ton). PT PG Rajawali II yang memiliki basis produksi di Cirebon itu akan memproduksi raw sugar dengan bahan baku dari tebu lokal. Walaupun jumlahnya kecil, kata Agus, perjanjian ini merupakan langkah awal untuk mencapai tahap selanjutnya yang saling menguntungkan.
Menurut Agus, produksi raw sugar di dalam negeri akan mulai dilakukan pada akhir September 2008.
Direktur Eksekutif AGRI M. Yamin Rahman menjelaskan kerja sama ini merupakan yang pertama kali di Indonesia dan dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Menurut Yamin, harga raw sugar impor saat ini masih lebih murah, yakni sekitar Rp420 per kg. "Ini sebuah langkah maju bagi pergulaan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada gula impor," ujarnya. Pemerintah, katanya, mengambil kebijakan pengurangan impor gula rafinasi sebesar 200.000 ton dan raw sugar sebesar 300.000 ton. Selama ini impor gula rafinasi mencapai 650.000 ton. Yamin menambahkan pihaknya terus menggalang kerja sama dengan pabrik gula untuk memproduksi raw sugar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar