Media Proteksinews

Media Proteksinews

sample media terbit

sample media terbit

Cari Blog Ini


Laman

RNI

RNI
kantor pusat

Minggu, 31 Januari 2010

Bara dalam Sekam ASDP Redam
Sebagai BUMN yang mengelola jasa angkutan sungai, danau dan penyeberangan, PT ASDP bukan baru berdiri kemarin sore. Namun, dalam kenyataannya mengapa malah terjerumus ke dalam kerugian senilai Rp25,40 miliar?

Selama dua tahun belakangan ini, semangat kerja pegawai kantor pusat PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tampak kurang bergairah. Mereka juga terkesan pasrah dengan kenyataan yang terjadi, sehingga memilih menunggu keputusan pemerintah, sebagai pemegang saham mayoritas.

Bara memang sudah lama mengendap di sekam ASDP. Hitung punya hitung, sudah hampir dua tahun tersimpan rapi di tangan manajemen yang dipimpin Dirut Sumiarso Sonny. Tapi, selama itu pula tak ada tindakan tegas dari pemerintah, khususnya para pejabat di Kementerian BUMN.

Padahal, seperti pernah dilangsir sebelumnya, aparat penegak hukum sudah berulang kali menggilir sejumlah saksi untuk dimintai keterangan. Tak cuma itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah memberkas hasil pemeriksaan keuangan ASDP beserta rekomendasi yang menjurus ke langkah hukum, termasuk melaporkannya ke DPR.

Beruntung, pemerintah melihat ada gelagat bara dalam sekam ASDP bakal menjadi api. Untuk itu, sebelum melahap apa yang ada di sana, dua hari bulan Mei, Menteri BUMN Sofyan Djalil menandatangani perombakan jajaran direksi ASDP. Beberapa jam kemudian, Deputi Logistik dan Pariwisata Meneg BUMN Harry Susetyo terlihat melantik Bambang Suryanto sebagai direktur utama ASDP menggantikan Sumiarso Sonny, Saprul Ultra Amiruddin menjadi Direktur Usaha Penyeberangan dan Pambudi Husodo sebagai Direktur Teknik ASDP. Sementara itu, pejabat direksi lama yang dipertahankan yakni Johan Iskandar sebagai direktur Usaha Angkutan yang sebelumnya Direktur Usaha dan Bonar Manurung ditetapkan sebagai direktur SDM & Umum yang dulunya direktur keuangan.

Perubahan yang terkesan mendadak itu menjadi terapi kejut bagi manajemen dan pegawai ASDP. Namun, semangat kebanyakan dari mereka justru terpacu. Setidaknya, masa depan ASDP masih ada harapan.

Nasib direksi lama
Kisah tragis malah mengimbas direksi lama. Pasalnya, usai jabatan mereka dicopot, Jampidsus Marwan Effendi langsung mengumumkan mantan Dirut PT ASDP Sumiarso Sonny, Direktur Keuangan Sonatha Halim Yusuf, dan Dirut PT Bima Intan Kencana (BIK) Lutfi Ismail sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan anggaran negara senilai Rp25 miliar.
Kasus tersebut, berawal dari keinginan ASDP untuk memiliki dua kapal penumpang Roll on Roll of (RoRo). Kapal ini sedianya dimaksudkan untuk mengarungi jalur Jakarta-Semarang-Surabaya. Ia juga diharapkan mampu menampung 423 penumpang dan 20 sedan, 35 truk, 17 truk besar, dan 14 tronton. Bobot matinya mencapai 1.520 metrik ton.

Keinginan untuk memiliki dua kapal ro-ro itu ternyata coba diwujudkan tidak melalui melalui proses lelang. Secara tiba-tiba, muncul China Geo Enginering (CGE) dan PT Bima Intan Kencana. Kedua perusahaan ini seolah-olah muncul dari tengah lautan. Peran CGE adalah membangun kedua kapal tersebut. Kalau sudah jadi, PT Bima yang akan mengoperasikannya. Ternyata, CGE dan PT Bima memiliki hubungan yang sangat erat sebelumnya. Pemilik PT Bima juga pemilik PT Galang Sarana Dwitama. Perusahaan terakhir ini adalah agen penjualan produk-produk baja, kapal, dan alat berat buatan CGE.

Nah, perusahaan-perusahaan itu sepakat menjalin kerjasama dengan ASDP untuk membuat kapal dan menjalankan pengoperasiannya. Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) dilaksanakan di China oleh para petinggi perusahaan-perusahaan itu dan disaksikan oleh pejabat pemerintah China dan Indonesia pada 22 Januari 2003. Pejabat yang ikut menyaksikan penandatanganan itu adalah Ferdinand Nainggolan yang saat itu menjabat sebagai Deputi Menteri Negara BUMN bidang Logistik dan Pariwisata. Dia didampingi oleh Tjuk Sukardiman (Direktur Jenderal Perhubungan Laut) dan Bonar Manurung (Asisten Deputi Urusan Jasa Perhubungan Meneg BUMN).

Lucunya, atau sudah menjadi kebiasaan, Nainggolan berangkat dengan surat tugas dari Direktur SDM dan Umum ASDP, July Halim, yang diteken pada 15 Januari 2003. Maklum, setiap pejabat yang berangkat minimal memperoleh uang saku Rp10 juta dari pemberi tugas. Lumayan. Isi kesepakatan itu, CGE akan membangun dua kapal ro-ro dengan harga 7 juta dolar AS per unit. CGE juga membuat desain kapal, suku cadang kapal, sertifikasi, dan sebagainya. Nah, bila sudah jadi, maka PT Bima yang akan menjalankan operasional kedua kapal itu selama 20 tahu. Untuk membiayai kedua kapal itu, ASDP harus merogoh kocek sebesar 20 persen atau 2,8 juta dolar AS untuk membayar uang muka. Sisanya, sebesar 80 persen, akan ditanggung oleh PT Bima. Perinciannya, 10 persen untuk tambahan uang muka dan 70 persen untuk pelunasannya.
Di atas kertas, perjanjian kerjasama itu sangat indah. Namun, ada duri tersimpan dibalik keindahan itu. Sebab, China bukanlah negara pembuat kapal yang handal. Itulah sebab, aparat jaksa curiga bahwa CGE hanya merakit kapal saja.

Akal-akalan rekanan
Ternyata, untuk memperoleh dana sebanyak 80 persen, PT Bima menjaminkan kapal yang baru dalam tahap rencana itu. Saatnya tiba. ASDP membayar uang muka sebesar 20 persen atau Rp25 miliar. Namun, bukan kepada CGE, melainkan kepada PT Bima. Uang itu diambil Direktur Utama ASDP Sumiarso Sonny dari kantong ASDP yang tersimpan di Bank Lippo Cabang Rawamangun, Jakarta Timur, dan ditransfer ke PT Bima di Bank Panin Cabang Senayan pada 29 Desember 2003. Keharusan lainnya, pembayaran uang muka ASDP mestinya bersamaan dengan 10 persen dari PT Bima plus L/C penjamin pelunasannya 70 persen.

Kenyataannya, PT Bima tak bisa membayar uang muka 10 persen. Bahkan, dia juga tak bisa meyakinkan bank untuk menerbitkan L/C. Saat akan menyerahkan uang muka Rp25 miliar itu, sebenarnya ASDP maju mundur. ASDP berharap agar PT Bima juga mau membayar 10 persen plus L/C. Berhubung belum bisa, maka muncullah PT Galang yang juga milik Lutfi Ismail, Direktur Utama PT Bima. Perusahaan ini ditengarai oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai hubungan istimewa dengan PT Bima. Peran PT Galang dalam proyek ini adalah menjamin uang muka yang dibayar ASDP. Jaminan itu dikeluarkan oleh PT Askrindo, tetapi dibuat oleh PT Galang. Masalahnya, BPKP meragukan keabsahan hukum jaminan yang dibuat PT Galang tersebut. Akibatnya sungguh memprihatinkan. Uang muka yang telanjur dikeluarkan oleh ASDP itu tak ketahuan rimbanya.

PT Bima yang diserahi uang itu mengaku sudah membayarkannya ke CGE. Sementara CGE, menurut Sekretaris Perusahaan ASDP Supriyanto B Utomo, juga susah untuk dihubungi. Bahkan, sejak MoU ditandatangani hingga sekarang, CGE belum juga membangun kapal. Artinya, selama dua tahun lima bulan, pembangunan kedua kapal itu tak pernah dimulai. Padahal, ASDP sudah membayar uang muka Rp25 miliar. Tentu saja CGE enggan membangun kapal itu, karena jaminan L/C dari PT Bima tak pernah ada.

Tudingan pun lantas mengarah ke muka PT Bima. Tudingannya serem: PT Bima menerima Rp25 miliar dari ASDP. Seharusnya uang itu diserahkan kepada CGE. Namun, tidak disetor dan masuk ke kantong banyak orang, tak terkecuali direksi ASDP. Bahkan, uang itu telah dipakai untuk membiayai kampanye pemilihan presiden 2004 lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar