Media Proteksinews

Media Proteksinews

sample media terbit

sample media terbit

Cari Blog Ini


Laman

RNI

RNI
kantor pusat

Selasa, 16 Maret 2010

Rivai ZAkaria Bukan Hanya menjalankan ProBono Tapi Sudah Hati Nurani


Pro Bono hak konstitusional
Sanggatlah luas kalau kita membicarakan jaminan HAM, mungkin sekiranya perlu di fokuskan pada persoalan bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan HAM di depan hukum tanpa terkecuali (equalty before the law) yang diatur dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 3 ayat (2), dalam International Convenant on Civil Political Right (ICCPR) pasal 14. Hal ini mendasari bahwa perwujudan atas tindakan diskriminatif yang sering muncul ditengah proses perlindungan hukum bagi tersangka/terdakwa pada prinsip asas praduga tidak bersalah (persumption of innocense), dan atas perlindungan anti kekerasan dalam setiap penanganannya.
Perwujudan HAM atas suatu jaminan bantuan hukum secara Cuma-Cuma telah dimulai sejak era tahun 80 an pada waktu pembuatan KUHAP, era 80-an itu sudah ada wacana tentang hak bantuan hokum adalah hak asasi manusia. Sehingga bicara megenai wacana atas bantuan hukum sebenarnya kita melindunggi hak mereka atas penggingkaran negara dalam mewujudkan hak tersebut dan juga memperkecil jarak orang miskin terhadap konstitusi, orang miskin terhadap akses keadilan, orang miskin trhadap ketimpangan terhadap apa yang disebut dengan Fair and Traial.
Seiring perjalanannya hak atas bantuan hukum, sering menjadi persoalan dalam kanca bahwa individu baik saksi, tersangka, terdakwa dalam sistem hukum acara pidana kita mereka dilindungi oleh norma untuk mendapatkan perlindungan atas haknya, dan hal ini bisa kita telusuri dari pasal 50 sampai 68 KUHAP mengenai hak-hak mereka yang harus diperhatikan, bukan dalam artian mereka (saksi, tersangka, terdakwa) hanya diberitahukan atas haknya, melainkan bahwa aparat seharunsnya memberikan perlindungan atas haknya itu tanpa ada pemorkasaan sedemikian rupa, salah satu dari hak itu yang terkait dengan permasalahan ini adalah pasal 56 KUHAP disebutkan bahwa;
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Kalau dicermati bahwa KUHAP mengutamakan prinsip “Due Process of law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan sesungguhnya memperoleh bantuan hukum merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan (Accses to justice) bagi mereka yang terkena atau berurusan dengan masalah hukum.
Advocate sebagai officium nobile
Bahwa hak atas bantuan hukum ini merupakan hak yang sudah diatur dalam konstitusi sebagaimana penjelasan diatas, yang kemudian ditindaklanjuti dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokad, yang mana pada pasal 22 ayat (1) yang berbunyi; Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Artinya disini bahwa peran advokat juga dituntut untuk mewujudkan suatu jaminan HAM yang dimiliki oleh seorang yang mempunyai masalah hukum, barang kali ini merupakan tugas yang mulia bagi para profesi advokat untuk mewujudkannya, namun perlu dicermati juga bahwa persoalan ini adalah merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan tanggung jawab sebuah negara yang tadi kita sudah singgung bahwa negara adalah pemangku tanggung jawab, dan hal ini secara terang-terangan pemerintah mengalihkan suatu tanggung jawab yang besar kepada advokat untuk mewujudkan hal itu. Dengan dikeluarkannya “PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma” pada tanggal 30 Desember 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita boleh bangga dan besar hati atas munculnya PP tersebut yang sedikit memberikan harapan bagi orang miskin atas access to justice dan kepastian hukum.
Bahwa UU No 18/2003 dibuat untuk kepentingan dan kemandirian advokat dan bebas dari segala bentuk intervensi oleh pihak lain dalam pelaksanaan tugas officium nobile, sehingga prinsip penegakan hukum dirumuskan sedemikian rupa, dan advokat juga dituntut secara yuridis maupun moral harus bertanggung jawab dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Bukan atas dasar sebuah tanggug jawab negara yang diberikan kepadanya dengan cara pelimpahan secara langusng sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa negara tidak mampu lagi melaksanakan fungsinya seperti apa yang diamanatkan dalam konstitusi.
Persoalan Pro Bono
Sejak lahirnya KUHAP, yang mengatur menganai hak atas bantun hukum, hingga lahirnya UU No 18 Tahun 2003 dan munculnya PP No. 83 Tahun 2008 masih menuia persoalan, bahwa siapa yang berhak mendapatkan bantun hukum secara Cuma-Cuma (Pro Bono)? apakah yang dinilai kurang mampu atau miskin? Apakah seperti halnya konsep Lembaga Bantuan Hukum pada umumnya, yang menitik beratkan atas pembelaan pada ranah struktural. Dan apakah kasus PIDANA saja yang mendapatkan bantuan hukum, lantas bagamaimana dengan kasus PERDATA?, Hal ini juga belum sempat terselesaikan bagaimana kriteria-kriteria orang tersebut yang berhak mendapatkan bantuan hukum ? apakah mereka yang upahnya dibawah UMK/UMP, ataukah mereka yang tidak mempunyai tempat tinggal? Dan bagaimana pembiyaanya atas penaganan kasus itu, apakah di sediakan melalui APBN atau apa? Karena kita ketahui bahwa dalam sistem peradilan kita tidak terlepas dengan biaya-biaya dalam setiap prosesnya.
Hal ini yang bisa saya sampaikan kepada para pembaca, dan saya yakin bahwa para pembaca mempunyai pandangan yang berbeda dengan saya, maka sudikiranya para pembaca berkeingginan bertukar pikirian lewat media yang saya persiapkan. HALIM M