Media Proteksinews

Media Proteksinews

sample media terbit

sample media terbit

Cari Blog Ini


Laman

RNI

RNI
kantor pusat

Selasa, 02 Februari 2010

Razia Narkoba (ANTARA/Nyoman Budhiana)
- Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, pada 2009 dua persen penduduk terdeteksi pernah bersentuhan dengan narkoba atau meningkat 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari dua persen pengguna tersebut, 60 persen adalah pekerja, sedangkan 40 persen lainnya pelajar, demikian Ketua Pelaksana Harian BNN, Gories Mere ,baru baru ini di Jakarta.
Pengguna narkoba ini terkonsentrasi di kota-kota dimana Jakarta menduduki urutan Teratas dengan 4,1 persen dari jumlah penduduk, Yogyakarta 2,7 persen dan Maluku 2,4 persen.
Gories mengungkapkan, BNN akan melakukan tiga strategi guna mengendalikan kecenderungan naiknya jumlah pengguna narkoba ini,diantaranya kampanye anti narkoba, memaksimalkan kesembuhan korban narkoba dan pengungkapan jaringan pengedar narkoba.
"BNN ingin mewujudkan tekad untuk membebaskan Indonesia dari narkoba," kata Gories.
Upaya tersebut diakuinya tidak mudah kaena jaringan narkoba menyebar di seluruh dunia sehingga kerjasama dengan masyarakat menjadi faktor kunci.
"Jika pengguna menjadi nol persen maka dengan sendirinya peredarannya akan terhenti, sebab tidak ada orang yang butuh (narkoba)," kata Gories. (Halim)
Tak Cukup Razia dan Penyuluhan
PADA banyak negara, masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) atau biasa disebut narkoba (narkotika dan bahan atau obat berbahaya) sudah menjadi persoalan krusial.
Pun halnya di Indonesia. Narkoba sudah merasuk ke segala lapisan masyarakat. Indonesia tidak saja sebagai wilayah transit, tapi sekaligus sasaran pemasaran, bahkan tempat produksi narkoba dari sindikat internasional.

Taruh misal dibongkarnya rumah yang dijadikan pabrik pembuatan sabu-sabu di Pantai Kartini, Jepara, beromzet Rp 30 miliar per minggu, pada 3 Mei lalu. Atau penggerebekan pabrik ekstasi beromzet Rp 500 miliar per bulannya di Jalan Camar, Pasir Gunung, Depok. Polisi menangkap sindikat yang sebagian di antaranya warga negara asing.
Ini artinya, Indonesia sudah menjadi bagian dari peta pemasaran dan pembuatan narkoba internasional. Maka wajar dikatakan narkoba adalah permasalahan yang serius (seperti halnya korupsi), jika tidak ingin generasi mendatang rusak. Kenapa? Karena ancaman narkoba semakin meningkat dan mengarah pada generasi mudayang terdidik.

Bahkan, menurut hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2006, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba sudah menjangkau ke tingkat rumah tangga, paling banyak terkonsentrasi pada generasi muda. Hampir tiada satu pun kabupaten/ kota di Indonesia yang bebas narkoba.

Tiap tahun, selalu saja ada remaja yang tersangkut kasus tersebut. Jumlahnya pun cukup banyak, meski sebagian besar pengguna belum dalam taraf pengedar. Penyalahgunaan ganja, ekstasi, dan sabu-sabu merupakan jenis narkoba yang paling sering dipakai.

Dari rekap data ungkap kasus di Direktorat Narkoba Polda Jateng tahun 2007 dan 2008, jumlah kasus narkotika dan piskotropika, di luar kasus obatan-obatan di Jawa Tengah, mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Tahun 2007 tercatat 715 kasus dengan tersangka 656 orang. Pada 2008 meningkat menjadi 704 kasus dengan 954 tersangka. Adapun sepanjang 2009 hingga 16 Juni, Polda Jateng telah mengungkap 504 kasus dengan tersangka 600 orang. Usia mereka berkisar antara 15 tahun ke bawah hingga 30 tahun ke atas. Paling banyak usia 30 tahun ke atas, disusul umur 25-29 tahun, dan 20-24 tahun. Dari data tersebut diketahui, para pengguna yang ditangkap adalah usia produktif.

Tingkat pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi. Teratas siswa SMA, kemudian SMP, SD, dan mahasiswa. Tahun 2007 siswa SMA yang ditangkap berjumlah 701 orang, SMP 207 pelajar, SD 47 siswa, dan 35 mahasiswa. Tahun 2008, 647 siswa SMA, SMP 163 pelajar, SD 93 siswa, dan 61 mahasiswa. Sementara 2009, 408 siswa SMA, 128 pelajar SMP, 44 siswa SD, dan 20 mahasiswa.

Staf Ahli Khusus Bidang Pencegahan Narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN), Dra Hastaning Sakti Psi Mkes, mengatakan, penggunaan narkoba di kalangan pelajar dikarenakan faktor ingin tahu, coba-coba, dan ikut-ikutan. Usia remaja dianggap sebagai masa pencarian jati diri dan penuh godaan. Terjadi perubahan yang pesat secara biologis, psikologis, dan sosial.

”Usia remaja adalah masa pencarian identitas diri yang didapat dari lingkungan. Ada semacam ingin mendapat pengakuan dari lingkungan mereka. Awalnya banyak yang sekadar ikut-ikutan karena kelompoknya juga memakai narkoba. Tapi lama-kelamaan akan terbisa, ujung-ujungnya ketergantungan dan kecanduan,” ujar psikolog dari Undip yang akrab disapa Hasta itu.

Pencarian Identitas Diri

Dari yang semula satu cc atau gram, meningkat dua, kemudian tiga. Terjadi peningkatan dosis. Dia menilai, selain lingkungan, keluarga dianggap hal terpenting dalam hal pembentukan dan pencarian identitas diri anak.
Hasta tak sepenuhnya membenarkan jika dikatakan kebanyakan remaja yang menjadi pengguna adalah dari kalangan keluarga mampu dan yang tidak tinggal serumah dengan orang tua.
”Sebab ada yang fisiknya tinggal bersama orang tua, tapi psikisnya tidak. Semisal orang tua banyak bertengkar dan saling menyalahkan, si anak akan tertekan dan bingung. Pengguna dari keluarga kurang mampu juga banyak. Sebab minuman keras yang harganya murah sekarang kan banyak didapat. Minuman keras itu juga narkoba lho,” kata Hasta.

Namun demikian, ditegaskan, pengaruh akan lebih mudah masuk jika pada si anak tidak ada pengawasan, bebas, dan punya uang. Dia mengingatkan, narkoba tidak hanya merusak tubuh fisik semata, tapi juga psikis. Narkoba adalah obat, bahan atau zat, bukan makanan, yang jika masuk ke dalam tubuh manusia berpengaruh terutama pada kerja otak .

Dia menyimpulkan berperang melawan narkoba tidak cukup hanya dengan razia dan penyuluhan. Harus ada upaya pencegahan dengan cara lebih kreatif dan interaktif. Semisal metode pemberian informasi atau kegiatan yang kreatif.
”Kalau hanya hanya ceramah, mereka biasanya cepat bosan.”

Dicontohkan, sejak 2006, di Semarang dia menggagas kegiatan yang bernama Keterampilan Konseling Interaktif (KKI), sebuah metode komunikasi antarkelompok. Tiap kelompok maksimal 10 orang dengan satu fasilitator. Mereka mendiskusikan tema apa saja. Seusainya, tiap peserta bertugas menyampaikan informasi yang diperoleh ke kelompok lain.

”Kelihatannya sederhana tapi penuh makna, yakni kita belajar untuk tidak hanya mendengar tapi juga transfer ilmu atau komunikasi pada orang lain, serta bertanggung jawab. Istilah jawanya jarkoni atau ajar nglakoni (belajar melakukan, tidak asal bicara),” ungkapnya.

Dengan KKI, Hasta telah berkeliling ke Banten, Yogyakarta, Jatim, Jabar, dan Jateng, mengampanyekan gerakan antinarkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar