Media Proteksinews

Media Proteksinews

sample media terbit

sample media terbit

Cari Blog Ini


Laman

RNI

RNI
kantor pusat

Rabu, 17 Maret 2010

SRIKANDI MARITIM dulu bercita cita jadi Astronot

DR. CHANDRA MOTIK YUSUF, SH. MSc;
SRIKANDI MARITIM

Di usianya yang ke-55 tahun, aura kecantikannya memancar tegas, tak kalah dengan gadis-gadis berusia jauh di bawahnya. Paduan baju warna gading dipadu dengan rok hitam yang dikenakannya semakin membuatnya terlihat menarik.
Inilah sosok pengacara Chandra Motik Djemat yang ditemui disebuah hotel dibilangan Jakarta Pusat pada Sabtu akhir Desember 2009. Senyumnya yang indah membuat setiap orang yang menatapnya terpesona.
“Maaf mas, kita terpaksa bertemu di sini karena saya masih ada pertemuan dengan klien di sini. Tapi mohon bersabar sedikit karena saya akan membereskan urusan lebih dulu dengan klien,” katanya sembari meminta izin untuk kembali menemui kliennya.
15 menit berselang, wanita ini menghampiri majalah Proteksi. Tak terlihat gurat letih sedikit pun kendati terlihat sibuk pada akhir pekan yang biasanya dipakai orang untuk berlibur.
Setelah berbasa-basi sejenak, wanita yang membiarkan rambutnya panjang ini menceritakan tentang awal mula bergelut di bidang hukum sebagai pengacara.
Bermula dari kegundahan atas kondisi kelautan (maritim) Indonesia. Menurutnya negeri yang dikelilingi laut seperti Indonesia, ternyata belum terurus secara maksimal.
Sejak itu, ia banting setir dari cita-citanya sejak kecil menjadi astronot. Dengan antusias ibu tiga anak ini mempelajari segala hal tentang kelautan. Sampai pada akhirnya ia fokus menjadi pengacara kelautan—sebuah profesi yang jarang digeluti sarjana hukum di tanah air.
Berbagai kasus kelautan telah ditangani. Seperti yang lain, tak semua kasus berakhir dengan kemenangan. Apalagi diawal-awal ia merintis karirnya. Namun semuanya dijalani dengan sabar.
Kini, ia menjadi salahsatu wanita yang patut diperhitungkan menjadi pengacara khusus kelautan. Segala kasus hukum yang berkaitan dengan kelautan, tak pelak meminta bantuannya.
Mungkin ketenarannya inilah yang membuat nelayan Thailand yang tertangkap TNI AL pada Desember 2009 silam meminta bantuannya mengurus persoalan hukum yang menimpanya.
Para awak kapal ini mengaku ditangkap saat
memasuki perairan Selat Malaka. Mereka dituduh melakukan illegal fishing karena kedapatan membawa lobster (udang besar) serta melewati teritorial tanpa izin.
Sejatinya, menurut Chandra kliennya tak melakukan seperti yang dituduhkan aparat TNI AL. Ini dibuktikan dengan data kecepatan kapal yang diperoleh dari satelit yang bermarkas di Ingris.
“Kalau mencari ikan, biasanya kecepatan kapal hanya berkisar 2 knot. Tapi data yang dikeluarkan satelit Inggris klapal klien kami berkecepatan 7 knot. Artinya, tak mungkin dengan kecepatan itu, klien kami melakukan pencurian,” katanya menjelaskan.
Selain itu, tangkapan lobster yang dituduhkan ternyata bukan seperti jenis yang berasal dari perairan di Indonesia. Yang lainnya yakni jaring yang dijadikan alat bukti ternyata hasil rekayasa aparat.
Dalam penyelidikan, jaring yang dipunyai awak kapal Thailand bernomor 018 ini ternyata sudah dalam keadaan rusak dan disimpan di dalam lambung kapal.
Keberadaan kapal itu sendiri saat melewati perairan Indonesia bukan sebuah kesengajaan karena sebelumnya mereka melakukan penangkapan lobster di Somalia.
Saat hendak pulang, mereka seharusnya melewati perairan Taiwan. Namun perairan itu sedang mengalami penyusutan sehingga tak mungkin dilalui karena terjadi pendangkalan.
Mereka pun berinisiatif mencari jalur alternatif yakni melewati perairan Selat malaka. Saat itulah mereka ditangkap yang berujung pada proses pengadilan.
Akan tetapi dalam prosesnya banyak terjadi kejanggalan. Semula saat ditangkap awalnya kapal hendak dibawa ke dermaga Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Namun dengan alasan dangkal, mereka dibawa ke pelabuhan milik Angkatan Laut di Belawan, Medan.
Kejanggalan lainnya yaitu tak ditemukannya alat tangkap saat dilakukan konferensi pers sesaat setelah penangkapan. Namun bukti itu, tiba-tiba muncul saat perwakilan Dubes Thailand yang diundang mengunjungi mereka.
Mengetahui fakta itu, istri dari Yusuf Djemat ini memutuskan mengadvokasi mereka. Dalam kurun sebulan kasus itu akhirnya bisa dimenangkan meski pun harus membayar denda.
“Klien saya sempat marah, karena tidak melakukan kesalahan tetapi harus bayar denda,” katanya.
Kliennya terpaksa pasrah menerima keputusan tersebut karena tak mau repot dengan urusan yang mau tak mau menyita waktu. “Pokoknya yang penting mereka bebas,” lanjutnya.


Menurut Chandra,jaksa penuntut pun bingung dengan kasus ini.tapi karena berkas dianggap lengkap ( P 21 )
mereka terpaksa meneruskan sampai akhirnya menelurkan

keputusan kontroversial.
Dari kasus ini dan beragam kasus kelautan lain yang pernah ditanganinya, wanita kelahiran Jakarta ini menganggap perlunya merevisi Undang-Undang Perikanan.
Seperti misalnya yang menyangkut soal alat tangkap. Dalam UU tidak disebutkan secara terperinci seperti jaring ikan apakah mesti memiliki pemberat sehingga masuk kriteria alat tangkap. “Misalnya, jaring yang tidak dipakai menangkap ikan apakah dianggap bermasalah,” ujarnya.
Untuk itu ia menyarankan, bila pemerintah berkehendak melakukan pemberantasan illegal fishing, maka perlu dibentuk satu lembaga atau badan dalam satu komando dengan multi fungsi sehingga menjadi satu.
“Semuanya satu seragam yang khusus menangani masalah-masalah kelautan. Jika itu tidak dilakukan, maka persoalan kelautan dianggap tidak aman sehingga membuat orang yang berniat berinvestasi berpikir seribu kali.
Yang terjadi sekarang adalah banyaknya lembaga seperti KPOB, DKP, Polri, Bea-Cukai, Imigrasi, dan sejumlah lembaga lainnya dimana masing-masing merasa memiliki kewenangan sesuai dengan keputusan UU. “Itulah sebabnya, seolah-olah kita memiliki banyak angkatan laut,” katanya.
Parahnya, sebuah kapal bisa ditangkap berulangkali oleh lembaga-lembaga tadi yang berimbaadi yang berimbas pada enggannya para stake holder menanamkan investasi.
Nah, dari sejumlah kasus tersebut, anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini merasa tertantang untuk menegakkan keadilan di bidang kelautan. Tak pandang siapa dan dari negara mana asal pemohonnya, dijamin, ia pasti akan membela selama terbukti benar. HALIM MASHATI


Budaya Pariarki lambat laun penilaian itu seakan sirna. Saat ini, sejumlah tokoh perempuan terus bermunculan dari beragam profesi, dan memberi bukti bahwa mereka dapat bersaing dengan lelaki untuk memberi kontribusi kepada bangsa. Chandra Motik salah satunya. sosok perempuan menjadi terbelenggu.dengan budaya Pariarki yang selalu diidentikan pekerjaan rumah
tangga dan seakan sulit untuk menjadi figur yang bersaing dalam karir profesi.
Perempuan kelahiran Jakarta 18 Februari 55ang patut diacungi jempol. Betapa tidak, saat ini Chandra menjadi pengacara khusus bidang kelautan. Sebuah profesi yang jarang digeluti para sarjana hukum di Tanah Air.
Siapa sangka, Chandra yang merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini awalnya bercita-cita menjadi astronot. Dimata dia, menjadi seorang astronot adalah hal yang sangat membanggakan karena tak semua orang bisa menginjakkan kakinya di bulan. Apalagi nama Chandra artinya adalah bulan.
Namun, Chandra tiba-tiba membanting setir cita-citanya setelah melihat kondisi laut di Indonesia. “Saya mendadak ingin tahu seluruh tentang laut, terlebih Indonesia adalah negara kepulauan,” ujar Chandra saat berbagi kisah Proteksi baru baru ini.
Di Th1981, Chandra bersama beberapa sahabatnya mendirikan Lembaga Hukum Laut. Kala itu, bertepatan setelah kejadian tenggelamnya Kapal Tampomas di perairan Masalembo. “Dulu Pak Harto lebih fokus ke pertanian, makanya kami mendirikan lembaga ini,” tandas perempuan berambut panjang ini.
Kecintaannya terhadap terhadap perairan Indonesia telah mengantarkan Chandra menjadi Penasihat Ahli Ksal Bidang Hukum dan Maritim, anggota Dewan Maritim Indonesia, dan Penasihat Perairan Rakyat. “Saya sadar suatu saat Indonesia membutuhkan tenaga ahli di bidang ini, dan ternyata benar” tukasnya.
Selain menjadi seorang lawyer di bidang kelautan, Chandra juga memiliki kesibukan lainnya. Saat ini, Chandra tercatat sebagai Ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar.
Chandra juga aktif mengurus Yayasan Al Yusuf bersama suami tercinta, Yusuf Djemat, dan Yayasan Al Rahman yang diprakarsai keluarga besar Motik. “Yayasan keluarga didirikan untuk fokus dalam bidang syiar Islam,” kata Chandra.
Menjadi seorang professional tidak lantas membuat Chandra lupa dengan peran ibu rumah tangga. Bahkan, ketiga anaknya kini telah menjadi orang yang berprestasi. Putri pertama bernama Ahsana Vidya (25) adalah seorang lulusan ilmu politik dari Amerika Serikat, sedangkan putra kembarnya Yudha Irhamsyah Djemat dan Yudi Irhamsyah Djemat (24) kini menjadi seorang dokter umum dan pengacara.
Dalam pengamatan Chandra, nasib perempuan di Indonesia saat ini sudah lebih baik. Perempuan saat ini sudah mampu bersaing dengan kaum lelaki dalam berbagai hal. Hal ini nampak karena Indonesia pernah dipimpin seorang perempuan. Namun, dia berharap, pemerintah dapat terus memperhatikan nasib perempuan di Indonesia agar kelak mampu bersaing di kancah internasional.
“Kita tidak berharap perempuan hanya menempuh pendidikan sampai SMUsaja, tetapi dapat terus hingga tingkat lebih baik. Pemerintah harus membantu mewujudkan itu secara merata hingga ke desa,” imbau srikandi yang gemar mengoreskan tulisannya menjadi sebuah buku itu.(Halim)